Dianggap Punah, Kelinci sumatera Terlihat di Kerinci
Seekor Kelinci sumatera (Nesolagus netscheri) yang langka terlihat suatu malam di jalur pendakian Gunung Kerinci oleh tiga petugas Taman Nasional Kerinci Seblat.
Dudung bersama dua rekannya melewati hutan di jalur pendakian Gunung Kerinci pada 5 Januari 2022. Hujan baru saja reda sekitar pukul delapan malam. Jalan setapak yang mereka lalui basah dan licin.
Hanya lampu senter yang terpasang di kepala mereka menerangi jalan di kegelapan. Daun-daun di pohon masih menjatuhkan sisa hujan.
Meski dingin menusuk, ketiga tim patroli hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dari pos pendakian Gunung Kerinci R10 di Kersik Tuo, Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi itu harus terus berjalan. Mereka bergegas ke Shelter 2 pada ketinggian 3.100 meter di atas permukaan laut. Mereka harus cepat sampai di sana, karena mendapat laporan ada seorang pendaki yang sakit dan harus segera dibawa turun.
Menjelang Shelter 1 Dudung yang berjalan paling depan tiba-tiba kaget melihat seekor kelinci besar tampak asyik memakan daun perdu yang rendah di sebelah jalan setapak di depannya. Bulu kelinci itu berwarna belang hitam dengan cokelat pirang, dan telinganya pendek. Itu seekor kelinci endemik Pulau Sumatera yang sangat langka.
“Warna belangnya seperti Harimau sumatera, hitam dan coklat pirang, dipunggungnya hitam, saat melihat kami, dengan cepat dia berlari dan menghilang di semak-semak, gerakannya sangat lincah,” kata Dudung, panggilan akrab dari Maryono di lokasi tempat ia melihat kelinci itu pada 27 April 2022.
Dudung memperkirakan berat kelinci yang ia lihat itu sekitar 2 kilogram. Tubuhnya kelihatannya gemuk dan mungkin juga sedang bunting. Lokasi penemuan kelinci itu berada pada ketinggian 1.830 mdpl. Di kiri-kanan jalan masih dipenuhi hutan hujan pegunungan yang didominasi family Dipterocarpacea dengan berbagai jenis liana, efifit, dan perdu. Di lantai hutan di sana memang tumbuh subur tanaman perdu, di antaranya Begonia (Begoniaceae) dan Cyrtandra, tanaman dari keluarga Gesneria (Gesneriaceae) yang menjadi makanan kelinci.
Itu bukan pertemuan pertama Dudung dengan Kelinci sumatera. Dua bulan kemudian, pada Maret 2022, ia juga tak sengaja kembali berjumpa dengan tiga Kelinci sumatera lainnya. Kali ini di tempat yang lebih tinggi, di antara Shelter 1 dan Shelter 2.
Waktu itu Dudung dengan seorang rekannya sedang berpatroli di jalur pendakian pada malam hari. Ia kembali berjumpa dengan Kelinci sumatera pada ketinggian sekitar 2.030 mdpl.
“Saat itu saya melihat ada tiga anak kelinci, warna bulunya masih cokelat muda, belum ada garis warna hitamnya, beratnya Online Baccarat saya perkirakan belum sampai setengah kilogram, mereka ada di cekungan, sepertinya sedang belajar mencari makan sendiri dan mengenal habitatnya,” katanya.
Karena terkejut melihat kehadiran manusia, ketiga anak kelinci itu langsung menghilang ke balik tanaman perdu yang rapat.
Kelinci sumatera Terlihat di Kerinci
Dudung bisa dengan cepat mengenal Kelinci sumatera, karena sebelumnya pada November 2020 ikut melepasliarkan seekor Kelinci sumatera. Kelinci itu ditemukan dan diselamatkan seorang petani karena hanyut pada aliran air dari Gunung Kerinci ketika hujan lebat. Kelinci itu kemudian dilepasliarkan kembali ke habitanya di hutan Gunung Kerinci. Itu Kelinci sumatra pertama yang pernah dilihat petugas TNKS itu selama ini.
Dengan melihat tiga kali Kelinci sumatra secara langsung, Dudung menjadi tahu jenis makanannya.
“Kalau kelinci besar yang saya lihat malam hari dulu suka makan daun ‘pohpohan’ (Cytandra), sedangkan yang kecil yang dilepasliarkan dulu dia langsung memakan daun dan batang begonia, mungkin karena tanaman itu lebih lunak,” ujarnya.
Kelinci sumatera atau dinamakan juga kelinci belang sumatera pertama kali diidentifikasi pada 1880 oleh Herman Schegel, seorang ahli hewan asal Jerman. Ia mengidentifikasi Kelinci sumatera berdasarkan spesimen yang diperoleh Elisa Netscer di Padang Panjang, Sumatera Barat setahun sebelumnya.
Atas sumbangan spesimen utuh yang kini tersimpan dengan baik di Rijkmuseum di Leiden, Belanda itu, Schlegel menyematkan nama Netscher sebagai nama ilmiah kelinci tersebut, menjadi Nesolagus netscheri.
Penemuan Kelinci sumatera di Gunung Kerinci mengagetkan Doktor Ardinis Arbain. Ia ahli biologi Universitas Andalas yang pernah meneliti Nesolagus netscheri.
“Kelinci sumatera ini sangat langka, jarang sekali terlihat, bahkan oleh peneliti sudah hampir dianggap punah, karena sudah puluhan tahun tidak ditemukan. Mendapatkan kelinci ini masih ada kita seperti mendapat segunung emas, temuan ini sangat penting,” katanya.
Ardinis Arbain mengetahui tentang Kelinci sumatera saat kuliah di Jerman pada 1989. Saat itu seorang teman kuliahnya di Universitas Heidelberg memperlihatkan foto specimen Kelinci sumatera yang dipotretnya di Rijkmuseum di Leiden yang menyimpan spesimen Kelinci sumatera sejak 1921. Spesimen itu berasal dari hutan Bukit Barisan di Ladang Padi, Solok, Sumatera Barat pada 1919.
Menurut Ardinis beberapa data biologis tentang Kelinci sumatera yang diketahui sejauh ini Kelinci sumatera adalah hewan nokturnal, yaitu beraktivitas pada malam hari. Ini berbeda dari kelinci biasa yang beraktivitas pada siang hari. Telinga Kelinci sumatera juga lebih pendek, warna bulunya belang hitam, cokelat, dan putih di bagian perut. Sedangkan warna matanya hitam keabuabuan.
Kelinci sumatera adalah herbivor atau hewan pemakan tumbuh-tumbuhan. Makanan utamanya adalah Cyrtandra, tanaman dari keluarga Gesneria (Gesneriaceae). Tanaman tersebut saat ini masih ada di hutan habitatnya. Wilayah hidup Kelinci sumatera tercatat di hutan hujan pada ketinggian 600 mdpl hingga 1.600 mdpl di hutan Bukit Barisan Sumatera dari Aceh hingga Lampung, termasuk di kawasan TNKS.